Menghakimiseseorang yang berbeda fisik dan warna kulit. Inilah satu hal, yang mirisnya, masih banyak terjadi di kehidupan sehari-hari. Tindakan itu jelas menyinggung dan menyudutkan orang dari ras tertentu. Itu bukanlah hal yang baik untuk dilakukan karena tidak ada ras yang lebih baik dari yang lainnya. 4. Menganggap orang dari negara
Rasisme Pengertian, Penyebab, Akibat, Dan Cara Menanggulanginya – Dimulai dari stereotip dan juga hinaan terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, bahkan di pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan yang seharusnya mempunyai tugas sebagai pengayom bagi seluruh masyarakat. Banyaknya gerakan dan protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terbaru yaitu Stop Asian Hate adalah manifestasi dari kemarahan atas adanya diskriminasi rasial yang melanggar hak orang-orang dan telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu dan menyebabkan berbagai macam kesenjangan yang merugikan banyak orang sekarang. Mari kita kulik lebih dalam mengenai apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dihilangkan sampai ke akarnya. Pengertian RasismePenyebab Munculnya Rasisme1. Rasisme internal2. Rasisme interpersonal3. Rasisme institusional4. Rasisme sistemik Akibat yang Ditimbulkan1. Kerap kali berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk2. Melanggengkan impunitas3. Dapat menyebabkan terjadinya konflik terbuka4. Menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya5. Menjadikan perempuan semakin terdiskriminasiKasus yang Terjadi Di IndonesiaCara Menanggulanginya Rasisme yaitu adanya perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan yang didasarkan oleh warna kulit, suku, ras, serta asal-usul seseorang yang menjadikan adanya batasan atau pelanggaran hak serta kebebasan seseorang. Rasisme juga kerap kali diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terpisah dengan didasarkan kepada ciri-ciri biologis yang disebut dengan “ras”. Gagasan ini juga meyakini bahwa ada hubungan sebab dan akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, moralitas, kecerdasan, dan juga ciri-ciri budaya serta perilaku yang lainnya, serta menjadikan beberapa ras secara bawaan’ lebih unggul dibandingkan dengan ras yang lain. Penyebab Munculnya Rasisme Lilian Green saorang pendiri sekaligus CEO dari North Star Forward Consulting, organisasi yang memberikan rekomendasi mengenai kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebutkan bahwa rasisme mempunyai empat dimensi yakni dimensi internal, dimensi interpersonal, dimensi institusional dan juga dimensi sistemik. 1. Rasisme internal Rasisme internal merajuk kepada pikiran, perasaan, dan tindakan dari dalam diri kita sendiri, secara sadar maupun tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai bahwa adanya stereotip ras yang negative atau bahkan menyangkal bahwa rasisme tidak ada. 2. Rasisme interpersonal Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari individu atau kelompok ke individu atau kelompok yang lainnya dan dapat mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya dengan melakukan perilaku negatif seperti diskriminasi, pelecehan dan juga mengatakan kata-kata rasis. 3. Rasisme institusional Rasisme institusional pada umumnya terdapat dalam institusi dan juga sistem politik, hukum, dan juga ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyuburkan diskriminasi dengan berdasarkan pada perbedaan ras. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksetaraan kemakmuran, pendidikan, pendapatan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan juga di berbagai bidang institusional yang lainnya. Misalnya, pada praktik perekrutan yang diskriminatif, tidak mendengarkan bahkan membungkam suara orang dengan ras tertentu di dalam ruangan rapat, atau dalam budaya kerja yang lebih mengutamakan sudut pandang kelompok ras yang dominan. 4. Rasisme sistemik Rasisme sistemik melibatkan entitas atau institusi yang berwenang dalam menegakkan kebijakan perihal rasisme, baik yang berada di dalam bidang pendidikan, pemerintahan, perawatan kesehatan, perumahan, dan hal serupa lainnya. Hal ini merupakan efek riak dari ratusan tahun praktik rasisme serta diskriminatif yang masih berlangsung hingga masa kini. Akibat yang Ditimbulkan Pemikiran yang rasis dapat membuat seseorang memiliki prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini dapat memberikan dampak negatif terhadap para korbannya. Bahkan rasisme menjadi awal dari banyaknya peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian kepada kaum Yahudi oleh Nazi. Berikut beberapa dampak buruk dari rasisme 1. Kerap kali berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk Rasisme memandang mereka, orang-orang yang berbeda sebagai bukan manusia, tetapi sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, perlakuan buruk bahkan penyiksaan kerap kali menimpa kelompok yang menjadi target dari perilaku rasis. Misalnya, di Amerika Serikat, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi adalah orang berkulit putih, tetapi jumlah orang berkulit hitam yang ditembak tidak proporsional apabila dibandingkan dengan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tetapi jumlah orang berkulit hitam yang dibunuh oleh polisi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan orang berkulit putih. Tiap-tiap satu juta populasi orang berkulit hitam, ada 30 orang yang tewas ditembak polisi. Jumlah ini berketimpangan dengan statistik yang menyatakan bahwa dalam tiap satu juta populasi orang berkulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan adanya dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang yang memiliki warna kulit lebih gelap. 2. Melanggengkan impunitas Negara yang lalai serta tidak menganggap dengan serius isu rasisme dapat menjadikan mekanisme yang ada tidak dapat mengidentifikasi serta memperbaiki pola diskriminasi yang telah ada sejak. Di berbagai negara, perlakuan buruk yang dilakukan oleh aparat kerap kali tidak dapat diinvestigasi hingga tuntas. Kalaupun berhasil untuk dituntut dan didakwa, mereka hanya mendapatkan hukuman yang ringan. Begitupun sebaliknya, korban yang melapor ke otoritas berwenang umumnya tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai dari berbagai ancaman dan intimidasi. Misalnya, di Prancis, menurut data dari Ombudsman Nasional Prancis, pemuda imigran yang berasal dari Arab dan pemuda yang memiliki warna kulit hitam 20 kali lebih mungkin untuk dituduh sebagai kriminal dan digeledah oleh polisi Prancis di jalanan hanya karena para polisi mengira bahwa mereka cocok untuk melakukan tindak kejahatan. Penggeledahan ini merendahkan martabat manusia dan kerap kali berujung pada intimidasi serta kekerasan. Menurut Madjid Messaoudene, aktivis sekaligus politisi lokal di Prancis, belum ada pelaku kekerasan dari pihak aparat ini yang sudah diadili. Impunitas atau ketiadaan hukuman bagi pelaku menunjukkan sikap negara yang tidak memiliki komitmen untuk menganggap serius dari adanya isu rasisme sistemik. 3. Dapat menyebabkan terjadinya konflik terbuka Untuk mempertahankan kekuasaannya, para pemimpin politik kerap kali membangkitkan atau memunculkan kebencian terhadap ras tertentu untuk mengumpulkan kekuatan pada pihak mereka, memandang lawan sebagai bukan manusia yang memiliki hak untuk dihormati seluruh haknya, serta seakan mensahkan terjadinya pelanggaran HAM. Hasilnya, rasisme mencemarkan seluruh aspek dalam kehidupan bermasyarakat, yang juga mencakup sistem keadilan. Di negara Myanmar, misalnya, kaum minoritas sering menjadi target pelanggaran HAM. PBB memberikan pendapat bahwa pembersihan etnis’ yang disertai dengan genosida banyak terjadi terhadap suku Rohingya. Orang-orang dari suku Rohingya menjadi target perlakuan buruk, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Banyak dari anggota militer Myanmar yang diduga membunuh laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak yang berasal dari suku Rohingya. Mereka juga memperkosa perempuan dan anak-anak, serta membakar desa tempat suku Rohingya tinggal. Orang-orang dari suku Rohingya juga disiksa jika tidak dapat bekerja sesuai dengan harapan. Mereka kerap kali dipukuli, tidak diberi makanan, air, istirahat dan juga pelayanan kesehatan yang memadai, bahkan dibunuh jika ketahuan ingin melarikan diri. Banyak dari mereka yang juga dipaksa kerja tanpa dibayar di dalam proyek konstruksi baru. 4. Menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya Secara historis, mereka yang secara terbuka mengakui dan mempraktikkan rasisme berpendapat bahwa anggota ras yang memiliki status lebih rendah harus dibatasi pada pekerjaan yang berstatus rendah, sementara anggota ras yang dominan harus mempunyai akses eksklusif ke kekuasaan politik , pekerjaan berstatus tinggi, sumber daya ekonomi, dan juga berbagai hak sipil lainnya. Walaupun ideologi yang rasis mungkin telah memudar di masa kini, tetapi diskriminasi ras berdasarkan warna kulit banyak yang tetap berlanjut, membuat para korbannya tidak memiliki akses ke pendidikan, pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya. Salah satu contohnya di negara Inggris. Pada tahun 2017 pemerintah Inggris mengidentifikasi lebih dari 4000 orang tergabung ke dalam “Gang Matrix”, yaitu daftar nama-nama anak remaja yang dicurigai sebagai anggota geng. Banyak nama yang masuk ke daftar tersebut hanya karena sekadar pernah melihat video dan mendengarkan musik yang dianggap berbahaya’, lantas mereka bisa dianggap berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan. Perlu diingat bahwa sebanyak 78% orang di dalam daftar ini mempunyai warna kulit hitam. Padahal, hanya ada 27% pemuda berkulit hitam di dalam daftar tersebut yang terbukti pernah melakukan kejahatan yang serius. Karena daftar yang “abu-abu” tersebut, banyak anak remaja yang akhirnya mengalami kesusahan untuk mendapat pekerjaan, pendidikan, dan juga tempat tinggal. Dalam hal ini, pada akhirnya, Komisi Informasi Inggris memutuskan bahwa kebijakan daftar Gang Matrix ini telah melanggar aturan privasi data karena pengawasan terhadap mereka dilakukan tanpa adanya surat perintah investigasi. 5. Menjadikan perempuan semakin terdiskriminasi Beberapa bentuk diskriminasi ras menimpa perempuan dan laki-laki melalui cara yang berbeda-beda. Ada tindakan rasis yang hampir sepenuhnya dialami oleh perempuan, seperti sterilisasi paksa kepada perempuan di dalam komunitas adat. Terkadang, diskriminasi yang ada di dalam ras menimpa perempuan dengan cara tertentu, misalnya ketika aparat melecehkan atau bahkan memperkosa perempuan untuk melakukan intimidasi kepada sebuah komunitas. Di sisi lain, konsekuensi berbeda untuk perempuan – misalnya ketika pemerkosaan yang terjadi berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan dan juga dapat berupa pengucilan. Pemerkosaan beberapa kali digunakan sebagai alat atau instrumen penyiksaan dan intimidasi terhadap suatu ras tertentu. Misalnya pada kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998, bias rasial juga diduga menjadi latar belakang dari tindak pemerkosaan terhadap ratusan perempuan beretnis Tionghoa di berbagai lokasi di Indonesia, hingga presiden BJ. Habibie pada masa itu memberikan rekomendasi untuk membentuk Komnas Perempuan. Catatan dari Komnas Perempuan perihal kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 menyebutkan bahwa, sebagian elemen tentara Indonesia pada kala itu diduga menjadi pelaku. Kasus yang Terjadi Di Indonesia Hubungan antara orang Indonesia dengan rasisme dapat ditelusuri sejak masa penjajahan Belanda, ketika Dutch East India Company Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC menetapkan adanya penggolongan kelas dan juga melegalkannya. Masyarakat di Indonesia pada kala itu dibagi menjadi tiga golongan. Strata tertinggi yaitu golongan Eropa yang berisi orang-orang dari negara Belanda. Strata kedua diisi oleh golongan Timur Asing yang berisi keturunan Arab dan juga Tionghoa. Lalu, strata terendah saat itu adalah masyarakat asli yang berasal dari Indonesia. Golongan masyarakat Eropa pada masa itu menganggap bahwa ras mereka lebih unggul dari ras yang lainnya, memiliki derajat yang lebih tinggi dan karena hal tersebut mereka merasa mempunyai hak untuk berlaku semena-mena, misalnya seperti mengeksploitasi golongan yang lainnya. Penggolongan kelas itu makin diperkuat dengan diadakannya penegakan aturan yang diskriminatif pula. Misalnya, orang asli Indonesia tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam stadion sepakbola. Menurut sosiolog Robertus Robet, rasisme memberi jalan masuk yang mulus bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menaklukkan orang yang asli dari Indonesia. Bangsa Eropa menaklukkan Indonesia dengan cara menyerang dimensi yang paling dasar dari eksistensi manusia, yaitu fisik dan juga rasnya. Sebutan bangsa kuli’ juga dilekatkan oleh para penjajah pada masyarakat kala itu. Sebutan yang sangat merendahkan itu menjadi strategi penjajah untuk mempermudah penjajah untuk menguasai perekonomian dan perpolitikan di Indonesia. Setelah lepas dari penjajahan asing, warga Indonesia sendiri tidak lepas dari tindakan dan perilaku diskriminatif. Beberapa insiden yang pernah ramai belakangan ini menguak berbagai perilaku rasis sebagian warga Indonesia kepada warga dari Papua. Misalnya, pada Agustus 2019, sebuah organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, organisasi masyarakt tersebut menuduh warga Papua di asrama tersebut membuang bendera ke selokan sebelum perayaan hari kemerdekaan, dan menghina mereka menggunakan kata-kata seperti “monyet,” “babi,” “anjing,” dan “binatang.” Insiden ini membuat orang Papua geram dan turun ke jalanan untuk memprotes tindakan diskriminatif tersebut di beberapa kota. Ironisnya, beberapa peserta aksi tersebut malah justru ditangkap atas dasar tuduhan makar. Jelang akhir periode Orde Baru, orang-orang dari etnis Tionghoa menjadi sasaran penjarahan serta kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya ada 198 perempuan dari etnis Tionghoa menjadi korban pelecehan dan jugs pemerkosaan. Pelanggaran HAM di masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi dengan cara yang sistematis dan meluas, dan juga menjadi tanggung jawab besar bagi negara untuk menyelesaikan kasus tersebut. Di dalam kasus yang lainnya, Pemerintah juga menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam, yang dapat dimaknai sebagai orang terbelakang yang bertempat tinggal di hutan pedalaman. Laporan Bappenas Masyarakat Adat di Indonesia Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif’ tahun 2013 menyatakan bahwa “dalam perspektif pemerintah, Suku Anak Dalam harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan”. Terlepas dari apapun niat negara, tetapi stereotip tersebut sebenarnya juga bisa menjadi dalih utuk tindak perampasan wilayah adat bagi perusahaan, apalagi jika dilakukan tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan Masyarakat Adat. Dalam hal ini, suku orang rimba bisa kehilangan mata pencharian dan juga tempat tinggal. Sebagai tambahan, Suku Orang Rimba yang berada di Jambi dan di Sumatera Selatan masih sering mendapatkan perlakuan rasis yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Setidaknya ada hektar wilayah adat mereka yang dilepas ke perusahaan sawit sejak tahun 1986, dan menggusur tempat tinggal mereka hingga saat ini. Cara Menanggulanginya Mencari tahu lebih banyak mengenai rasisme Sebarkan kesadaran perihal bahaya dari rasisme Memastikan lingkungan sosial kita, seperti tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan, inklusif terhadap berbagai ragam asal-usul dan budaya Desak negara untuk melindungi warganya dari rasisme melalui berbagai aturan dan kebijakan mengenai anti-rasisme Dukung penuh pekerjaan lembaga-lembaga yang mendukung kesetaraan dan keadilan bagi semua orang Beri dukungan dan dengarkan orang-orang yang menjadi korban dari rasisme Dukung keadilan rasial, yaitu perlakuan adil yang sistematis terhadap orang-orang dari seluruh ras guna untuk menghasilkan peluang yang setara bagi semua orang. Baca juga Pengertian Kolusi Ciri-Ciri, Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasi Memahami Bentuk Mobilitas Sosial, Faktor, & Dampaknya Bagi Masyarakat Pengertian Eksklusivisme Macam, Dampak, dan Contohnya Pengertian Resesi Ekonomi Penyebab, Dampak dan Solusi Pengertian Etnosentrisme Faktor Penyebab, dan Dampaknya yang Perlu Diketahui ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Sebelumberdiskusi dengan anak, usahakan untuk tidak memilih bahasa atau kata-kata yang menyinggung suatu suku, agama, ras, dan antar golongan. Hindari untuk membeda-bedakan orang berdasarkan warna kulit dan perbedaan kebudayaan. Penting untuk menyesuaikan pesan mengenai keragaman dengan usia anak.
Sistem kami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS menyinggungras atau warna kulis seseorang. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS Teka Teki Silang populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu. Masukkan juga jumlah kata dan atau huruf yang sudah diketahui untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gunakan tanda tanya ? untuk huruf yang tidak diketahui. Contoh J?W?B
Dankalau menyinggung hal sensitif kayak agama, jenis kelamin, suku, warna kulit dan lainnya, artinya perilaku rasisme. Saat kita bikin lelucon dan bangga atau malah melakukan pembelaan diri dengan merasa enggak ada yang salah bukan sesuatu yang positif girls. Coba posisikan diri kita pada teman kita, apa yang kita rasakan saat itu?
Desember lalu, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta maaf atas praktik perbudakan yang dilakukan negaranya di masa lalu dan menyebutnya sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Salah satu contoh perbudakannya adalah ketika Belanda memperdagangkan sebanyak orang Afrika ke benua Amerika pada tahun 1814. Kejahatan yang pernah dilakukan Belanda selama 250 tahun itu salah satunya dilatarbelakangi oleh kentalnya keyakinan akan konsep ras yang membagi dan membedakan manusia ke dalam kelompok-kelompok secara hierarkis. Dalam konsep ini, ada kelompok “si putih” yang membangun secara sistemik struktur yang menyubordinasi kelompok lainnya melalui serangkaian hak istimewa. Konsepsi ini membentuk pola interaksi yang timpang. Kelompok kulit putih merasa berhak mengatur kehidupan kelompok lain, termasuk menjadikan mereka sebagai komoditas. Sampai sekarang, ketimpangan ini masih terjadi di banyak tempat dalam berbagai bentuk diskriminasi. Gerakan sosial seperti Black Lives Matter, misalnya, merupakan salah satu reaksi paling nyata dari konstruksi ras. Sejarah munculnya “kulit putih” dan “kulit hitam” Pada mulanya, orang-orang Eropa tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai kulit putih Whites. Tidak pula melihat ke-putih-an whiteness mereka sebagai nilai lebih. Kata “putih” awalnya ditujukan kepada orang-orang Eropa dan pertama kali digunakan oleh Thomas Middleton dalam naskah drama The Triumph of Truth yang dipentaskan pada awal abad ke-15. Drama ini menceritakan seorang raja di Afrika yang sedang berada di tengah orang-orang Inggris dan berujar, “Saya melihat keheranan di wajah orang-orang kulit putih ini”. Pada era sebelum pementasan itu, karakter yang berkulit gelap digambarkan dengan ciri fisiknya seperti “kehitaman” atau “coklat keabu-abuan”. Akan tetapi, deskripsi ini tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan maupun menganggap mereka lebih rendah dari orang kulit putih. Deskripsi kulit hitam pun merujuk ke banyak kelompok, seperti orang-orang Spanyol, Arab, dan India. Perbedaan warna kulit, yang menjadi dasar pembedaan ras, adalah kenyataan faktual. Hanya saja, konsep ras sendiri sebenarnya tidak berangkat dari realitas biologis itu. Ras adalah sebuah ide, bukan fakta. Geraldine Heng, profesor sejarah dari University of Texas, mengatakan bahwa ada sebuah proses yang disebut race-making pembentukan ras. Proses inilah yang berujung pada praktik dan tekanan untuk mengonstruksi identitas manusia, menjadikan adanya tingkat yang lebih tinggi pada suatu kelompok manusia dibanding kelompok manusia lainnya. Singkatnya, ras adalah sesuatu yang dibayangkan, diidentifikasi, dan diinstitusionalkan oleh kekuasaan. Menurut Kwame Anthony Appiah, profesor filsafat dan hukum dari New York University, ras adalah hasil konstruksi dari biologisasi biologizing budaya dan atau ideologi, bukan sebuah ide yang saintifik. Mengapa “putih”? Lalu kenapa di antara semua atribut fisik yang melekat pada diri seseorang, ke-putih-an dipilih menjadi patokan pengategorian? Tanpa disadari, citra “putih” sebagai sesuatu yang “baik” telah lama melekat dalam pikiran manusia. Luh Ayu Saraswati, profesor di bidang perempuan, gender, dan seksualitas the University of Hawai'i, membedah persepsi “putih” ini hingga jauh ke masa prakolonial di Indonesia. Ia menelisik kisah Ramayana yang mengasosiasikan putih sebagai warna kebaikan, dengan menggambarkan tokoh Sita tokoh protagonis dalam cerita tersebut sebagai perempuan berkulit putih yang cantik bercahaya. Kebalikannya, Rawana tokoh antagonis dideskripsikan berkulit gelap dengan pandangan mata menakutkan seperti “ular berbisa yang berbahaya”. Dengan demikian, citra positif “putih” dan citra negatif “hitam” terbentuk secara bersamaan. Citra negatif “hitam” itu adalah hasil hermeneutic blackness, sebuah tahap ketika ke-hitam-an tidak hanya merujuk kepada ciri-ciri fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan sesuatu yang buruk dan jahat. Proses ini menghasilkan perasaan negatif terhadap “hitam” yang merasuk ke dalam diri. Dalam sebuah wawancara pada tahun 1971, petinju kawakan asal Amerika Serikat AS, Muhammad Ali, mempertanyakan mengapa warna hitam selalu identik dengan hal-hal yang buruk seakan “yang putih itu baik, yang hitam tidak”. Ali mencontohkan adanya istilah blackmail untuk pemerasan, anak bebek dianggap buruk rupa karena berwarna hitam, dan kucing hitam dianggap pembawa sial. Konstruksi dan diskriminasi ras berkembang seiring dengan kolonialisme. Misalnya, pada masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial membagi masyarakatnya menjadi tiga kategori Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Tiga kategori itu secara harfiah merujuk pada tempat, namun memiliki konotasi ras. Sementara itu, arti dari tempat sendiri tak selalu sama dengan asal. Ann Laura Stoler, profesor antropologi dan sejarah dari The New School for Social Research, AS, mengistilahkan struktur masyarakat kolonial ini sebagai bentuk dari “negara taksonomik”, yakni negara yang administrasi pemerintahannya bertugas mendefinisikan sekaligus menafsirkan segala hal yang melegitimasi sekelompok orang agar dapat dihimpun ke dalam ras tertentu. Proses ini tidak dilakukan melalui kajian ilmiah yang teliti, tetapi berasal dari niat untuk memudahkan kontrol atas masyarakat yang dikuasainya. Pengelompokan ras seperti itu dicitrakan seolah-olah adalah kondisi alamiah, padahal sepenuhnya politis. Ras kulit putih yang dalam masyarakat kolonial dikonstruksikan sebagai yang lebih unggul ini kemudian menjadi dalih bagi praktik perbudakan. Selama era kolonialisme Belanda pula, citra putih yang superior semakin berkembang dan menguat melalui kebijakan segregasi rasial pemisahan berdasarkan ras ini. Kelompok kulit putih orang-orang Eropa digambarkan sebagai simbol moralitas, keberadaban, dan berorientasi maju. Citra serba baik di masa kolonialisme ini berlanjut hingga era kemerdekaan. Oleh kapitalisme, konstruksi ke-putih-an ini dirawat’ di ruang publik melalui media massa. Dalam buku Becoming White Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun 2003, Aquarini Priyatna Prabasmoro, guru besar bidang ilmu sastra dan gender Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa citra tubuh merupakan sebuah permainan yang terancang amat baik, salah satunya melalui iklan sabun. Kita ingat bagaimana dahulu, di tahun 1990-an, aktris Tamara Bleszynski dan Sophia Latjuba yang menjadi model Lux dan Giv, dua merek sabun mandi terkenal kala itu, digambarkan sebagai perwujudan ideal dari perempuan Indonesia berwajah blasteran dan berkulit putih. Dekonstruksi ras Zaman sekarang mulai muncul upaya dekonstruksi ras untuk menghilangkan citra superioritas kulit putih. Perjuangan ini mulai mencuat sejak Alek Wek, model perempuan asal Sudan, tampil di sampul majalah Elle edisi AS pada 1997. Wek yang berkulit gelap berpose di depan layar di bawah arahan pengarah gaya kreatif Prancis, Gilles Besimon. Ketika itu, ia mendobrak citra cantik gadis sampul tradisional yang berkulit putih dan berambut pirang lurus. Sejak itulah definisi cantik terus berubah, tidak lagi dimonopoli oleh golongan kulit putih. Namun, konstruksi ras yang telah dibangun sejak masa kolonial tidak mudah dirobohkan. Kita dapat melihat bagaimana film nonanimasi “The Little Mermaid” menuai kecaman dari banyak orang karena Walt Disney Pictures, rumah produksi film ini, melakukan perubahan yang signifikan terhadap tokoh Ariel yang tak lagi berkulit putih. Banyak pengguna internet di berbagai platform menuliskan sikap sinis yang rasis. Walt Disney memang sedang gencar memproduksi film dengan berpegang pada prinsip inklusivitas. Hal ini dilakukan salah satunya untuk menjawab isu white-washing pengkulitputihan yang menerpa industri film Hollywood. Permintaan maaf PM Rutte, meskipun tidak secara eksplisit menyinggung soal superioritas kulit putih, layak diapresiasi. Kita perlu melihat ini sebagai upaya dekonstruksi ras oleh negara bekas penjajah yang dulunya membangun pengaruhnya melalui konstruksi ras. Apa yang dilakukannya merupakan langkah besar lain untuk membangun ulang perspektif kita tentang kesetaraan manusia yang sengaja dihilangkan oleh konsep ras. Ras bukan takdir yang harus diterima, tapi konstruksi sosial yang harus dibongkar.
- Поξодуб рсεтефувсе мах
- ኄеср γаресвудаሳ боփի
- Пጿ ቁшаռаቸ
- О αհαጂ
- ዖухиж κωփяпу
- Ωλէջуշуቫу թеπа
- Икυդኗψሮсн трխца ፉиሹιձፅρωч ыρомըзяφ
- Хуску κቻտաкու
Dimasa ini, ada pergeseran konsep putih dalam konteks ras menjadi putih sebagai warna kulit. Beralih ke konsep yang diusung dan digembar-gemborkan oleh iklan, tulisan, serta produk-produk kecantikan. Krim pemutih secara massal diproduksi dan membentuk standar kecantikan yaitu kulit putih. Orang-orang berkulit gelap merasa malu.
Initermasuk ketika seseorang menyinggung bagian tubuh atau organ seksual dan menjuluki cewek dengan kata-kata seperti 'pelacur', ya. Warna Kulit,Fitur Tubuh,dan Ras. Nah, kalau kita masih sering bercanda soal perbedaan warna kulit sambil menyinggung suku atau ras tertentu, ketahuilah kalau hal itu merupakan salah satu bentuk rasisme.
Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS menyinggung ras dan kulit seseorang. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu.
MenurutAsosiasi Sosiologi Inggris, ada kata-kata dan frase lain yang menggambarkan ras, warna kulit dan keturunan yang dapat menyinggung. Mereka menjelaskan kata "Halfe-caste " atau separuh kasta
Rasismeadalah tindakan yang dipercaya oleh beberapa orang yang menyatakan bahwa warna kulit, ras, suku, dan asal usul seseorang sebagai status social dan menganggap ras mereka paling uggul dari yang lainnya. Rasisme memandang mereka yang berbeda sebagai bukan manusia, tapi objek yang bisa diperlakukan semena-mena.
qwZI.